
Menghadapi pria kecil ini, aku harus cerdik, karena dia adalah anak yang cerdas dan halus perasaannya. Aku harus menekan emosiku saat marah sekalipun, bila tidak apa yang kusampaikan padanya takkan mudah diterima olehnya. Caranya hanya satu yaitu hujan cinta dan kasih sayang. Menegurnya harus benar-benar menggunakan trik-trik yang cantik agar dia tidak merasa sedang dinasehati atau digurui. Tanpa bantuan majalah Ayah Bunda akan sedikit sulit bagiku menahan emosiku yang meledak-ledak.
Suatu malam, aku terbangun mendengar suara Favianku yang saat itu berusia 3 tahun menangis di depan pintu kamarku yang tidak terkunci. Entah kenapa, dia hanya berdiri menangis tanpa membuka pintu. Aku pun bangkit dan keluar dari kamar, memeluknya dan bertanya dengan lembut,”Kenapa nangis De?”.
“Ade mau pipis, Bunda!” katanya. Aku pun tersenyum dan segera mengantarnya ke kamar mandi. Kejadian itu sering terjadi. Sepertinya dia paham betul, bahwa dia tidak selayaknya masuk ke dalam kamar ayah dan bundanya di saat malam hingga subuh tiba. Kadang kala dia hanya mengetuk pintu kamar tiga kali, sampai aku menjawab ketukannya, bila aku sudah mempersilahkannya masuk, barulah ia melangkah masuk ke dalam kamarku.